Ester Lince Napitupulu | Hertanto Soebijoto | Selasa, 14 Juni 2011 | 10:32 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemahaman guru-guru mengenai multikulturalisme atau keberagaman masih sempit. Bahkan, banyak guru yang tidak menyadari bahwa keberagaman itu dapat menjadi sumber konflik dalam kehidupan bersama jika tidak dikembangkan sikap-sikap yang mau menerima dan menghargai keragaman.
Kondisi itu terungkap dari penelitian terhadap 23 guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di wilayah Jakarta dan Tangerang. Penelitian dilakukan Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, dan Yayasan Tifa.
Persoalan itu juga menjadi pembahasan sejumlah pemerhati pendidikan dan guru-guru PKn di Jakarta, Selasa (14/6/2011). Ada keprihatinan dengan pemahaman guru-guru PKn yang minim soal multikulturalisme, dunia pendidikan yang diharapkan berperan membendung gerakan radikalisme yang mulai berkembang, tidak bisa maksimal.
Retno Listyarti, salah satu peneliti IER Universitas Paramadina, mengatakan, semua guru mengakui Indonesia sebagai negara multikultural. Namun, dalam persepsi soal agama misalnya, hanya mengetahui agama-agama yang diakui negara.
"Padahal, kalau mau melihat Indonesia lebih mendalam lagi, keanekaragaman agama bukan soal satu atau enam semata. Tapi dibutuhkan pengakuan terhadap semua keyakinan yang tumbuh di masyarakat," papar Retno.
Dari penelitian ini juga terlihat, para guru kurang mengafirmasi kondisi-kondisi terkini sebagai sebuah ancaman dari kehidupan multikultural di Indonesia. Beragam konflik karena kenakaragaman mulai muncul, seperti penyerangan Ahmadiyah hingga jemaat HKBP. Juga soal bom-bom bunuh diri.
"Para guru mesti menyadari persoalan-persoalan yang mulai muncul dalam masyarakat karena keberagaman. Justru kondisi itu mestinya memperkuat pendidikan di sekolah untuk membekali siswa mampu hidup dalam kondisi multikultural," kata Retno.
Sumber :
http://edukasi.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar